Senin, 19 November 2012

MUTIARA KEHIDUPAN


MUTIARA KEHIDUPAN 


HIDUP ITU INDAH  Sahabat... Jadikan kesulitan sebagai inspirasi untuk keberhasilan diwaktu mendatang, karena hal itu berarti kita telah dipilih Allah dari sedikit orang untuk menghadapi kesulitan tersebut, sementara disaat yang sama sebagian orang lainnya masih sibuk membayangkan kesulitan yang ia hadapi sehingga tidak pernah melangkah untuk menghadapinya. Berprasangka baiklah saat bertemu kesulitan, karena bisa jadi hal itulah yang akan mendekatkan diri kita pada kemudahan.. Jalani hidup ini dengan penuh harapan, walau hidup tak selalu bahagia. Berilah senyuman, walau hati tak lagi mampu untuk bertahan. Belajarlah memaafkan, walau dirimu sudah sangat terluka. Dalam hidup ini, kadang yang engkau rencanakan berjalan tidak seperti apa yang kau harapkan. 

Kehidupan mengajarkan bagaimana engkau membuat semua kejadian menjadi kebaikan, bukan kesedihan.Saat tekanan datang, katakan dlm hatimu, "setelah ini, aku bisa lebih baik lagi. "Setiap masalah dalam hidup ini semata-mata untuk membentukmu menjadi lebih tangguh dan bijaksana.Berani mati tidaklah luar biasa, namun berani tetap hidup pada saat tidak memiliki apa-apa lagi, itu barulah luar biasa!Hidup itu indah, masih banyak lagi hal luar biasa yang belum engkau temukan. Jangan memandang rendah dan remeh orang lain hanya karena ia tak lebih pintar, tak lebih kaya, tak lebih beruntung dan tak mempunyai kedudukan seperti engkau. Kadangkala di mata TUHAN, batubara yang legam terlihat lebih berkilau dibanding dengan permata yang mahal. Hidup cuma sekedar "mampir minum". Seperti pengembara di perjalanan panjang, ia akan berhenti sejenak untuk minum, lalu melanjutkan kembali perjalanannya. 

Hidup adalah sebuah proses waktu. Pemilik kehidupan selalu silih berganti. Gunakan waktu hidupmu dengan sebaik-baiknya, karena tidak ada yang menjamin bahwa setiap orang bisa hidup lebih lama lagi di dunia.   Selalulah bersyukur dengan semua apa yang kita peroleh setiap harinya. Kemenangan hati adalah ketika ia dengan tulus memaafkan meski telah dikecewakan begitu dalam...Meski gula itu manis, tapi ia tak selalu baik untuk tubuh. Namun, pahitnya obat mampu menyembuhkan sakitmu...Luka... tetaplah hanya akan menjadi luka bila kau fokuskan hatimu pada rasa sakitnya...Jangan pusatkan hatimu pada apa yang membuatmu terluka atau seberapa perih luka itu, tapi berpikirlah bahwa dengannya kau akan melakukan berbagai upaya untuk menyembuhkan lukamu...Sekecil-kecilnya hikmah dari kegagalan adalah keinginan, do'a dan usaha kita untuk tak lagi gagal...Dalam setiap kegagalan selalu ada hikmah. Dari sebuah luka kita belajar ketegaran dan intropeksi diri...Ingat... Kegagalan adalah, sesuatu sukses yang masih tertunda...

 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku tambah nikmat kepadamu dan jika kamu mengingkari nikmatKu maka sesungguhnya siksaKu sangatlah pedih.' (QS. Ibrahim : 17). 

Rasa syukur itu membuat hidup kita indah..
Rasa syukur itu membuat yang sedikit terasa cukup..
Rasa syukur itu mengubah apa yang kita miliki menjadi cukup dan berharga..
Rasa syukur itu mengubah masalah yang kita hadapi menjadi hikmah yang bernilai..
Rasa syukur itu mengubah makanan biasa terasa menjadi istimewa..
Rasa syukur itu dapat mengubah rumah yang sempit terasa lapang dan nyaman..

Rasa syukur itu mengubah kegagalan menjadi pelajaran berharga..
Rasa syukur itu mengubah kekeruhan suasana menjadi kejernihan..
Rasa syukur itu membuat sesuatu yang tidak enak menajadi enak..
Rasa syukur itu membuat sesuatu penolakan menjadi penerimaan..
Rasa syukur itu dapat mengubah rasa benci menjadi kasih sayang..
Rasa syukur itu membuat kedamaian di hati kita..
Rasa syukur itu menjadikan hari ini terasa damai..
Rasa syukur itu membuat masa lalu menjadi kenangan.. 

masa depan adalah harapan..
Ternyata rahasia membuat hidup indah itu hanya rasa syukur dalam hati..


HATI NURANI 
Setiap orang memiliki cermin di dalam diri, itulah hati nurani. Perkataan hati nurani adalah kejujuran. Anjurannya adalah kebaikan. Kecenderungannya adalah pada kebenaran, sifatnya adalah kasih sayang. Ia akan tenang bila kita berbuat baik dan gelisah bila kita berbuat dosa. Bila ia bersih dan sehat maka ia akanmenjadi juru bicara Allah di dalam diri kita.

Bila ia bening dan berkilat maka ia akan menangkap Cahaya Kebenaran. Hanya sayangnya kita sering mencampakkan nurani kita sendiri bahkan membunuhnya dengan perilaku-perilaku kita. Curang hanya demi serupiah keuntungan, bohong hanya untuk kesenangan sesaat, kikir padahal harta melimpah, dengki terhadap kebahagian orang lain, menolak kebenaran karena sebuah gengsi. Akibatnya nurani kita tertutup dan mati sehingga tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Seorang sahabat Nabi Shallalahu alaihi wassalam yang bernama Wabishah ra datang dengan menyimpan pertanyaan di dalam hatinya tentang bagaimanakah cara membedakan antara kebajikan dan dosa. Sebelum Wabishah bertanya, cermin hati Nabi Shallalahu alaihi wassalam telah menangkap isi hatinya. ” Wahai Wabishah, mau aku jawab langsung atau engkau utarakan pertanyaanmu terlebih dahulu?” Wabishah menjawab,” Jawab langsung saja, wahai Rasulullah.”

Beliau bersabda,” Engkau datang untuk bertanya bagaimana membedakan antara kebajikan dan dosa.” Wabishah berkata, “Benar.” Beliau Shallalahu alaihi wassalam merapatkan jari-jarinya dan menempelkannya pada dada Wabishah, seraya bersabda :
“Mintalah pendapat pada hatimu dan mintalah pendapat pada jiwamu, wahai Wabishah. Sesuatu itu adalah kebaikan bila ia membuat hati tenteram, membuat jiwa tenteram, sedangkan dosa membuat kegelisah dalam hati dan kegoncangan dalam dada.(Mintalah pendapat pada hatimu dan mintalah pendapat pada jiwamu), meskipun orang-orang telah memberikan pendapat mereka kepadamu tentang hal itu.”( HR.al-Darimi dari Wabishah ra )

Sekarang ini cobalah kita tanyakan dengan jujur pada diri kita sendiri, pada posisi mana kita berada saat ini. Apakah kita termasuk orang yang merasa ”tidak nyaman” ketika kita mau melakukan perbuatan dosa? Atau kita tidak merasakan ketidaknyamanan itu lagi? Kalau iya, kita masih merasakan ketidaknyamanan, kegelisahan ketika kita mau melakukan suatu perbuatan dosa, maka bersyukurlah, itu berarti hati nurani kita masih hidup dan pertahankan serta tingkatkanlah, ketakwaan, keimanan dan kedekatan kita kepada Allah. Namun jika ternyata kita temukan diri kita, sudah tidak pernah merasakan rasa bersalah, gelisah, saat kita mau dan sudah melakukan perbuatan dosa, maka segera bertobatlah, karena jangan-jangan kita sudah terlalu lama berada dalam kelompok orang-orang yang tidak malu melakukan dosa, atau merasa biasa-biasa saja ketika melakukan suatu perbuatan dosa yang kita anggap sebagai dosa kecil, misalnya berdusta? Tanyakan dengan jujur pada diri kita masing-masing, dan hanya kita sendiri yang bisa menjawabnya.

Wahai Allah yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku untuk senantiasa berpegang pada agama-Mu.(HR Muslim, Tirmidzi dan Ibnu Majah)


PILAR PEMBANGUNAN YANG BERADAB


"Kebangkitan suatu bangsa di dunia selalu bermula dari kelemahan. Sesuatu yang sering membuat orang percaya bahwa kemajuan yang mereka capai kemudian adalah sebentuk kemustahilan. Tapi, di balik anggapan kemustahilan itu, sejarah sesungguhnya telah mengajarkan kepada kita bahwa kesabaran, keteguhan, kearifan, dan ketenangan dalam melangkah telah mengantarkan bangsa-bangsa lemah itu merangkak dari ketidakberdayaan menuju kejayaan." (Hasan Al-Banna; Risalah Ila Ayyu Syain Nad u An-Naas.)

Dalam sejarah kehidupan bangsa-bangsa, kebangkitan dan kemajuan adalah sebuah keniscayaan yang mesti diyakini. Namun, kelemahan yang sedang mengungkung suatu bangsa seringkali memicu keputusasaan sehingga bayang-bayang ketidakpastian dan kemustahilan menjadi begitu kuat. Realitas kejiwaan masyarakat inilah yang ingin didobrak oleh Hasan Al-Banna, dengan salah satu ungkapannya: "Inna haqaiqa al-yaumi hiya ahlamu al-amsi, wa ahlama al-yaumi haqaiqu al-ghadi (Sesungguhnya kenyataan hari ini adalah mimpi kemarin, dan mimpi hari ini akan menjadi kenyataan esok hari)."

Sementara akar penyebab kelemahan yang sebenarnya ada pada kehancuran jiwa masyarakatnya. Ini yang secara kuat dicemaskan oleh Abul Hasan An-Nadwi dengan ucapannya, "Kemanusiaan sedang ada dalam sakratul maut.”. Bahkan, kecemasan dunia modern yang digjaya seperti Amerika misalnya, juga terletak di sini. Laurence Gould pernah mengingatkan publik Amerika, "Saya tidak yakin bahaya terbesar yang mengancam masa depan kita adalah bom nuklir. Peradaban AS hancur ketika tekad mempertahankan kehormatan dan nilai-nilai moral dalam hati nurani warga kita telah mati." (Hamilton Howze, The Tragic Descent: America in 2020 , 1992).

Dari pemahaman inilah, Hasan Al-Banna menyimpulkan bahwa pilar kekuatan utama membangun kembali umat adalah kesabaran (ash-shabru), keteguhan (ats-tsabat), kearifan (al-hikmah), dan ketenangan (al-anat) yang kesemuanya menggambarkan kekuatan kejiwaan (al-quwwah an-nafsiyah) suatu bangsa. Dan Hasan Al-Banna menyimpulkan adanya lima babak yang akan dilalui. Kesimpulan ini berangkat dari analisa sejarah perjalanan bangsa-bangsa dan upaya memahami arahan-arahan Rabbani

Berikut Seri Pemikiran Politik Hasan Al-Banna: Lima Babak Kebangkitan Umat

1. Kelemahan (adh-dho fu).

Faktor utama kelemahan adalah terjadinya kesewenang-wenangan rezim kekuasaan yang tiranik. Kekuasaan inilah yang memporak-porandakan sendi-sendi kehidupan masyarakat dan memberangus potensi-potensi kebaikannya dengan dalih kepentingan kekuasaan. "Sesungguhnya Firaun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah-belah, dengan menindas segolongan dari mereka, membunuh anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Firaun termasuk orang yang membuat kerusakan." (QS. 28:4) Itulah sebabnya tujuan pertama transisi politik menurut Al-Banna adalah membebaskan umat dari belenggu penindasan dalam kehidupan politik.

2. Kepemimpinan (az-zuaamah).

Sejarah perubahan menunjukkan bahwa upaya bangkit kembali dari kehancuran membutuhkan seorang pemimpin yang kuat. Kepemimpinan ini mesti muncul pada dua wilayah, yaitu pemimpin di tengah-tengah masyarakat (az-zuaamah ad-da wiyah) yang menyeru kepada kebaikan dan pemimpin pemerintahan (az-zuaamah as-siyasiyah) yang sejatinya muncul atau menjadi bagian dari mata rantai barisan penyeru kebaikan itu. "Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi(QS. 24:55). Ini artinya kekuatan-kekuatan Islam mesti mempersiapkan diri secara sistematis, sehingga masa transisi politik menjadi kesempatan untuk meneguhkan kepemimpinan dakwah dan untuk meraih kepemimpinan politik. Inilah tantangan sekaligus rintangan terberat kaum muslimin pada hari ini.

3. Pertarungan (ash-shiraa u)

Ketika suatu bangsa memasuki masa transisi politik, Al-Banna mengingatkan akan muncul dan maraknya berbagai kekuatan ideologis yang lengkap dengan tawaran sistem dan para penyerunya. Akan terjadi kompetisi terbuka untuk menanamkan pengaruh, meraih dukungan dan memperebutkan kekuasaan. Ada dua karakter dasar ideologi-ideologi kuffar. Pertama, secara hakiki ia berlawanan dengan ideologi Islam. Dan kedua, untuk menjamin eksistensinya di muka bumi, ideologi-ideologi kuffar itu akan berupaya menghancurkan ideologi Islam. Pertarungan terberat adalah pada upaya untuk membebaskan diri dari mentalitas, sikap, perilaku dan budaya yang sudah terkooptasi oleh ideologi materialisme-sekuler. Pertarungan ini tidak bisa dimenangkan dengan kekuatan senjata, tetapi dengan bangunan keimanan baru yang memantulkan izzah (harga diri) umat di hadapan peradaban-peradaban kuffar.

4. Iman (Al-Iman)

Pertarungan ideologi di fase transisi menuju kebangkitan adalah masa-masa ujian berat bagi umat. Pertarungan akan memunculkan dua golongan manusia. Pertama, mereka yang tidak istiqamah dengan cita-cita Islam dan menggadaikan perjuangannya demi keuntungan-keuntungan material. Perjuangan bagi mereka adalah bagaimana mengumpulkan sebanyak-banyaknya perhiasan dunia sesuatu yang tidak mereka miliki sebelumnya. Golongan kedua, adalah mereka yang istiqamah dan iltizam dengan garis dan cita-cita perjuangan. Besarnya kekuatan musuh justru menambah keimanan mereka dan semakin mendekatkan diri mereka kepada Allah. Inilah golongan yang sedikit, tapi dijanjikan kemenangan oleh Allah. Proses kebangkitan umat tidak akan berjalan tanpa keberadaan mereka; orang-orang yang akan menorehkan garis sejarah panjang perjuangan yang diliputi berbagai keistimewaan dan keajaiban.

5. Pertolongan Allah (Al-Intishar)

Inilah hakikat kemenangan bagi umat, yaitu ketika Allah swt. telah menurunkan pertolongannya untuk mencapai kemenangan sejati. Kemenangan tidak semata diukur oleh terkalahkannya musuh. Tetapi, kemenangan adalah ketika tangan-tangan Allah ikut bersama kita menghancurkan seluruh kekuatan musuh. Inilah awal tumbuhnya kehidupan baru di mana Allah akan menerangi dengan cahayaNya dan Allah akan menaungi kehidupan umat dengan Keperkasaan dan Kasih-sayangNya. Di sinilah pembalikan keadaan (tabdil) dalam kehidupan akan terjadi. Kemakmuran, keamanan, kedamaian dan keadilan akan menjadi nikmat yang bisa dimiliki setiap makhluk yang mendiami negeri itu. "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmatNya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang besar." (QS. Al-Fath: 1-3) 


POLITIK TANPA ETIKA

Kerusakan moral yang menimpa bangsa Indonesia sudah melewati tahap yang sangat membahayakan karena kerusakan moral tersebut sudah masuk di segala bidang dan dilakukan hampir seluruh komponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun masyarakat umum. 

Di sini kita menyaksikan adanya suatu fenomena sekaligus tragedi yang sungguh berseberangan dengan suasana keagamaan. Dengan mudahnya kita bisa menyaksikan perilaku pejabat pemerintah atau sekelompok orang yang tidak mau tahu dengan segala bingkai moral. Pelanggaran moral baginya dirasakan enteng saja meskipun pesan-pesan agama yang sering didengarnya mengecam perilaku tersebut. Dari dari ancaman yang ringan sampai ke tingkat yang sangat keras dan mengerikan. Bagaimanapun kecilnya pelanggaran moral, kalau hal itu menggejala dan sampai menjadi budaya suatu masyarakat, maka ia akan dapat merapuhkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.Padahal bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Simbol-simbol untuk itu sangat jelas terlihat dari pernyataan keagamannya dalam KTP. 

Pembangunan tempat ibadah terus bertambah dari waktu ke waktu. Dari tempat-tempat suci tersebut berkumandang seruan dan ajakan untuk berbuat kebaikan. Jumlah orang yang naik haji dari tahun ke tahun tidak pernah berkurang. Media massa, baik cetak maupun elektronik, senantiasa memberikan tempat dan ruang untuk pencerahan agama. Bahkan dalam kurun terakhir, buku-buku yang bernuansa keagamaan banyak diminati.Namun, kenapa perilaku-perilaku yang melabrak moral terus saja terjadi?

Di sini negara dan moral harus disatukan. Artinya, seluruh komponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun masyarakat umum harus mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara dengan moralitas yang tinggi. Mereka tidak harus melakukan sesuatu tanpa landasan moral yang tinggi.Kalau kita berbicara tentang negara dan moral, sejak zaman purba, para ahli sudah membicarakan hubungan negara dan moral. Para filsuf Yunani, seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, telah membincangkan tentang moral dan moralitas dalam hubungannya dengan kehidupan manusia pada umumnya.

Menurut mereka, moralitas bersifat naturalistik, rasionalistik, dan objektivistik. Moralitas bersifat naturalistik, dalam arti bahwa moralitas dipandang sebagai bagian dari dunia alami dan umat manusia dipandang sebagai sangat peduli akan pencapaian hidup yang baik, di dunia kini maupun di dunia kelak. Moralitas juga bersiafat rasionalistik dan objektivistik, dalam arti bahwa mereka percaya dan meyakini akan adanya wujud kebenaran yang objektif, dan bahwa akal budi merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dari kebenaran itu.

Di dunia Islam, antara lain muncul seorang al-Ghazali (1058—1111) dengan teorinya yang menggabungkan negara dengan moral, yang dinamakannya kemudian dengan Siyasatul Akhlaq atau negara moral. Bagi al-Ghazali, negara dan moral tidak lagi merupakan dua hal yang terpisah, tetapi keduanya harus disatupadukan menjadi satu badan yang kompak. Menurut dia, negara yang tidak mempunyai moral berarti keruntuhan; dan sebaliknya moral yang tidak sejalan dengan negara adalah kelumpuhan.Munculnya tulisan ini yang mengaitkan negara dan moral tidak lain adalah kegelisahan penulis akan adanya bencana besar yang telah menimpa bangsa Indonesia saat ini. Seperti yang dikatakan al-Ghazali, ketika bangsa atau umat itu sudah dihinggapi oleh suatu penyakit yang berbahaya, yaitu krisis moral. Dalam waktu sekejap, penyakit ini akan mengancam keutuhan suatu bangsa atau umat tersebut. Krisis moral dengan sendirinya akan menyebabkan terjadinya krisis yang bersifat multikompleks, yaitu krisis di semua bidang kehidupan bangsa. Baik ekonomi, politik, hukum, maupun sosial.

Dalam bidang ekonomi, misalnya, krisis moral akan membawa bangsa menuju kehancuran ekonomi. Kemiskinan dan pengangguran akan mewarnai kehidupan bangsa akibat salah kelola sumber daya ekonomi, seperti pertambangan, minyak bumi, dan batu bara.Dalam bidang politik, krisis moral akan menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Para pejabat negara mempergunakan kekuasaannya secara salah. Akibatnya, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merajalela. Kekuasaan dipergunakan untuk memenuhi nafsu serakah individu dan kelompoknya. 

Jika pihak atasan sudah berbuat demikian, para pegawai di tingkat bawah mengambil teladan atas perilaku buruk atasannya itu. Apabila yang terjadi demikian, pemerintahan merupakan suatu alat pengrusak di tangan orang-orang yang jahat dan rakus.Krisis moral yang menimpa di ranah hukum pun tidak kalah dahsyat. Lihat saja misalnya banyaknya para penegak hukum (kejaksaan, kepolisian, kehakiman) yang terlibat korupsi dan suap yang saat ini santer diberitakan berbagai media massa. Kita juga tidak lupa akan krisis moral bangsa ini yang mengakibatkan kejujuran dikecam habis-habisan. Masih banyak krisis moral yang menimpa bangsa religius ini. Oleh karena itu, pendidikan moral menjadi sangat penting bagi teguh dan kokohnya suatu bangsa.

Pendidikan moral adalah suatu proses panjang dalam rangka mengantarkan manusianya untuk menjadi seorang yang memiliki kekuatan intelektual dan spiritual sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya di segala aspek dan menjalani kehidupan yang bercita-cita dan bertujuan pasti. Hal ini harus menjadi agenda pokok dalam setiap proses pembangunan bangsa.Tidak kalah kalah penting adalah adanya teladan moralitas yang tinggi dari penguasa atau pemimpin. Seorang pemimpin, baik itu pemimpin negara, agama, suku, organisasi, dan seterusnya harus memiliki moral yang tinggi dan memberikan teladan kepada masyarakat dengan cara mewarnai kehidupan diri dengan moral yang baik dan mengajak masyarakat yang dipimpinnya untuk senantiasa berbuat baik. (Sumber: Lampung Post, 25 Juni 2011)

NILAI moral bagi manusia menjadi landasan utama dalam melakukan sesuatu. Mengapa? Karana etika, moralitas, dan hati nurani akan terus mengawasi tindakan dan prilaku manusia. Nafsu kebinatangan manusia cendrung mendominasi jika nilai dan hati nurani berjalan tidak berimbang, sehingga nilai baik buruk sulit dipilah secara terinci. Di sinilah etika dan kejernihan hati nurani itu diperlukan. Tokoh Spritual Hindu Mahatma Gandhi pernah berucap: “Bumi ini cukup untuk melayani keperluan manusia, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kerakusan manusia.”

Indonesia termasuk salah satu negara kaya-raya. Sayangnya negara kaya-raya itu salah urus. Kesalahan dalam mengurus sebagai salah satu akibat keserakahan yang telah dilembagakan dan disahkan greeded has been institutionalized and legitimised. Korupsi kian menggurita, membudaya, dan seolah tak bertepi lagi. Dari bangun tidur, sampai tidur kembali, seolah tiada ruang hampa tanpa korupsi. Hal ini, tentu terkait dengan budaya bangsa ini. (Jurnal Muqaddimah, November 2006-Mei 2007).Masalah korupsi kini diembel-embeli istilah baru, yaitu kolusi.

Sebenarnya telah lama menjadi isu dan keprihatinan mendalam dari berbagai kalangan bangsa Indonesia. Bahkan, perbincangan masalah ini pernah mengangkat komentar proklamator Bung Hatta pada akhir 1970-an yang mensinyalir kegiatan korupsi di Indonesia telah menjadi budaya yang sulit diberantas. (Media Dakwah, Agustus 1995).Faisal Bassir, dalam bukunya Etika Politik Pandangan Seorang Politis Muslim (2003:57) mengatakan, “Saat ini, seolah-olah para pejabat negara sulit dijangkau hukum, jika tidak hanya sebuah skenario yang direkayasa akibat mempermainkan hukum. 

Kejelasan sangsi-sangsi hukum bagi pelaksanaan negara akan mengurangi tindakan pelanggaran hukum, seperti tidak ditaati hukum oleh pejabat di masa Orde Lama, Orde Baru, dan Masa Reformasi. Akibat dari itu semua merabaknya kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.”Sebagai anak ibu pertiwi menganggap budaya bangsa ini lembek soft. Gunard Myrrdal menyebut Indonesia sebagai bangsa yang lembek soft nation. Menurut Mochtar Lubis, dalam bukunya Transformasi Budaya Untuk Masa Depan (1985:33) mengatakan. “Bahwa negara yang lembek alias lemah itu indikatornya: lemah disiplin, lemah etika, dan moral anggota-anggotanya, korupsi merajalela, disiplin hukum dan undang-undang serta peraturan amat kendur, munafik, erosi nilai berlangsung terus, mudah disogok dan lainnya.”Lepas dari itu, bila kita melihat sistem politik di era pemerintahan Bung Karno rezim Orde Lama.

Politik memainkan peranan yang begitu kuatnya dominasi politik saat itu sampai-sampai seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara bertumpu pada politik jor-joran, perebutan kursi dan kekuasaan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.Melalui perjuangan panjang di pentas Republik ini, Soekarno akhirnya tampil sebagai primadona, sebagai Penguasa Tunggal. Soekarno terkenal baik di dalam negeri maupun dimanca negara. Soekarno adalah orator ulung, penggagas besar bangsa, pemimpin pesar revolusi dan Panglima Tertinggi Republik Indonesia. Segala kehebatan, kebesaran, dan kekuatan politik berada di tangannya. Ia bebas dan dapat bertindak serta berbuat apa saja. Politik adalah Komando dan Soekarno adalah Panglimanya. Kebesaran, kehebatan, dan kekuatan menjadi Soekarno takabur. Tidak ada lagi kontrol dalam dirinya, tak ada seorang pun atau satu pun Institusi di Republik ini yang mampu menyatakan NO pada Soekarno. Semua hanya bersuara YESSS. 

Nilai ukur, batasan, bahkan sangsi moral tidak berfungsi. Etika bahkan moralitas berpolitik adalah yang kedua. Mungkin tidak perlu, bagi Bung Karno saat itu satu-satunya yang riil adalah POLITIK. Politik merebut ini, politik menggenggam itu, politik adalah yang pertama dan utama.Akhirnya, Soekarno sendiri terkena badai yang dibuatnya sendiri. Ia harus mundur. Ia diturunkan dari tahta kekuasaannya akibat permainan politik itu sendiri. Rakyak dan mahasisiwa tidak lagi mendukungnya. Tamatlah riwayat rezim Orde Lama dari Bung Karno.

Munculnya Soeharto sebagai Presiden Militer di era 1970-an juga hasil politik intrik-intrik, adu domba dan kekerasan yang hampir seluruhnya mewarnai adegan Orde Baru tersebut. Bagi Soeharto politik bukan lagi primadona, tidak lagi dominan dan malah menjadi sesuatu yang haram. Bersama para teknorak dan pemikir ahli ekonomi dari dunia akedemik, Soeharto membangun Orde Baru yang menggunakan ekonomi dan pembangunan ekonomi sebagai kunci. Rakyat sejahtra, makmur, lahir dan batin itulah impian dan obsesinya. Akan tetapi, dialah rajanya.

Pada masa-masa awal Orde Baru Soeharto membangun pemerintahan yang baik dan berorientasi kerakyatan. “Pada awalnya Soeharto itu baik dan lurus.” Begitu komentar segelincir pejabat tinggi yang berada di sekitarnya pada waktu itu.Akan tetapi, selama rezim Orde Baru (Orba) berkuasa, dengan cara pemerintahannya yang otoriter, represif, serta jauh dari iklim demokratis, menimbulkan korban sosial-politik dalam jumlah cukup besar dan mengakibatkan trauma psikologis yang sangat mendalam di benak seluruh rakyat.

Perlu dicatat bahwa rezim Orba adalah sejarah kekerasan sosial-politik, sehingga tidak salah jika ada yang menyebut, Indonesia sebagai The Republik of Fear. (Media Indonesia, 26 Januari 2006). Lebih dari itu, Sukandi A.K dalam karyanya. Politik Kekerasan Orde Baru Akankan Terus Berlanjut? (1999:16), mengatakan. “Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, tercatat ratusan ribu warga Indonesia terbunuh, di samping banyaknya yang menderita fisik, penculikan, dan pemerkosaan. Dan semua itu dimulai ketika Soeharto memegang kekuasaan ABRI. Awal Oktober 1965, sebagai akibat pemberontakan PKI yang gagal, Soeharto berhasil menduduki jabatan menggantikan Panglima Angkatan Darat Jendral A. Yani yang dibunuh PKI.”Masih Sukandi A.K, (1999:18). “Negara Orde Baru, tidak hanya dibangun di atas ‘bangkai’ pembantaian dan simpatisan PKI, tetapi juga oleh ‘bangkai-bangkai lain.’ Bangkai-bangkai itu mulai dari Tragedi Tanjung Priok, Peristiwa Lampung, SantaCruz Dili, Haw Koneng, Nipah, Peristiwa 27 Juli, Timika, hingga kekerasan-kerusuhan politik kambing hitam, penculikan-penculikan politik, dan penembakan empat mahasiswa Trisakti.Selain itu, Jefri A Winters dalam bukunya. Dosa-dosa Politik Orde Baru (1999: IX), mengatakan. “Pada masa kekuasaan Soeharto Indonesia berada di bawah suatu sistem kepemimpinan yang meliteristik dan terpusat pada satu individu. Rakyat–yang sebelumnya dipandang sebagai kekuatan politik terpenting dalam proses kemerdekaan Indonesia–diubah sosoknya menjadi kekuatan politik yang paling ‘berbahaya’ dalam masyarakat.

Hal ini merupakan idiologis yang sangat penting, dan efeknya masih dirasakan sampai kini.”Sekali lagi, tidak ada batasan, norma ataupun kontrol pada dirinya. Tak satu pun yang berada di dekatnya berani memprotes atau bernada sumbang dan apalagi berani mengkritiknya, kalau ada yang berani maka ia langsung di masukkan ke dalam penjara. Maka semuanya sepakat dan beramai-ramai bahkan berlomba-lomba menyanyikan koor Setujuuuu. Yang berani melawan didiami, dicuekin, dan dijuhi, dipecat, atau diberhentikan, bahkan dihabisi kariernya. Dan lebih gila lagi, langsung masuk ke sel tahanan atau dibunuh. Itulah nasib yang harus diterima oleh mereka yang berada di dekatnya dan di bawahnya bila berani melawan atau bersuara beda.

Dengan demikian, dari hari kehari sebagai “raja”, Soeharto membangun rezim yang dijiwai oleh koneksi dan nepotisme yang mengandalkan ancaman dan kekuasaan yang mengerikan. Sekali lagi terjadi. Bagi ia tak ada lagi batasan nilai norma, etika, moralitas, dan nurani. Harta dan kekuasaan untuk menjaga adalah segala-galanya. Iklim keserakahan menjadi sesuatu yang lumrah dan wajar. Akhirnya, setelah memegang tumpuk kekuasaan secara penuh dan utuh dan sesudah dari hari ke hari merasakan nikmatnya kekuasaan, Soeharto pun menjadi seperti Bung Karno. lengser di tengah jalan. Soeharto, dilengserkan oleh para mahasiswa dan rakyat, karena mahasisiwa dan rakyat sudah ‘gerah’ dengan keberadaannya, tetapi sebenarnya rezim harta dan kekuasaannya menggurita yang telah dibangunnya, tumbang. Karena bebanya sendiri ia menjadi pesakitan hingga hari tuanya. Karena ulah sendiri mengabaikan etika, moralitas, dan nurani. Muncullah Era Reformasi yang dipelopori oleh Amien Rais yang bercita-cita luhur, memperbaiki nasib dan rakyat Indonesia, tetapi sejak Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY- JK dan sampai kepada SBY-Budiono. Nasib rakyat masih tetap menjadi wacana, masih tetap menjadi cita-cita besar yang tak terjamah.

Keruntuhan rezim Orde Baru tidaklah diperjuangkan oleh partai-partai politik. Namun, keuntungan terbesar justru diraih oleh partai-partai politik yang berkibar dalam transisi. Era yang mestinya menjanjikan banyak perubahan, ternyata disibukan dengan hal-hal yang remah-temah, yaitu pemaksimalan fasilitas bagi kalangan parlemen. Mobil dinas, rumah dinas, sampai hal-hal lainnya sudah menghabiskan anggaran negara yang tidak sedikit. Bahkan, anggaran itu didapatkan dengan cara yang kurang beradap, yaitu utang luar negeri.

Disamping itu, partai-partai politik seolah mengerdilkan diri dari dunianya sendiri dengan cara-cara yang kurang santun, yaitu meminta haknya kepada konstituen.Bukti-bukti konkret sudah terhidang. Partai politik adalah elemen paling korup, sebagaimana survei yang dilakukan oleh Transparansi Internasional Indonesia (Koran Tempo, 17/1/2006). “Partai politik seolah mengubah dirinya menjadi ‘drakula’ yang mengisap darah publik berupa anggaran negara dan dana-dana pihak ketiga.

Bukan hanya itu, kinerja wakil-wakil rakyat juga rendah dan bisa dinilai merah. Hanya 14 undang-undang yang disahkan pada 2005, itu pun tidak seluruhnya undang-undang murni karena ada peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diubah menjadi undang-undang.”“Hal ini tidak telepas dari transisi partai-partai politik yang belum selesai. Kalangan elit partai politik masih berasal dari kelompok-kelompok yang mendapat kesempatan selama era Orde Baru, serta sedikit sekali yang merupakan bagian dari kelas menegah baru yang memiliki idealisme politik untuk melakukan perubahan. Bahkan, perubahan cendrung merugikan mereka. Banyak partai politik sekarang lebih nyaman dengan kemapanan alias status quo. Pikiran-pikiran jangka pendek menguasai langkah-langkah politik yang mereka lakukan.” (Koran Tempo, 17/1/2006).

Sangat sulit menentukan arah awal dimulainya antisipasi pemberantasan tindak korupsi di negara ini. Kejahatan yang sudah terukur secara terstrukturisasi maupun kejahatan yang telah tersistematis sangat sulit menentukan makna “pemberantasan”. Mungkin yang terjangkau secara preventif hanyalah sekedar meminimalisasi perbuatan koruptif tersebut. Sungguh, manakala kita membicarakan korupsi dalam konteks eliminasi, saat itulah dapat dikatakan korupsi sebagai sesuatu yang beyond the law karena sangat sulit kadar pembuktiannya. Kesulitan pembuktian ini disebabkan oleh multifaktor, antara lain kekuasaan dan kuatnya para economic power. Dapat dikatakan kita telah memposisikan mereka dalam status benyond the law. (Kompas, 7/1/ 2006). 

Dengan demikian, hampir tidak ragu lagi, kehancuran moralitas politik di Indonesia merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi bangsa ini sejak bermulanya masa “reformasi” menyusul jatuhnya Soeharto dari kekuasaannya pada Mei 1998. Kehancuran moralitas politik pada masa itu, bisa dilihat dalam berbagai kecendrungan dan indikasi, mulai dari semakin meluasnya tindakan-tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), money politics, sampai demonstrasi-demonstrasi massa yang tidak memperdulikan moralitas, kemudian bukan tidak sering out of control berubah menjadi anarki. Bahkan, hukum politik, ekonomi dan sosial budaya berjalan ditempat tanpa sedikit pun perbaikan.

Bagi rakyat kecil sampai pejabat yang paling tinggi di negeri ini, hukum tidak ada artinya. Pengadilan berjalan di luar batasan keadilan, hakim, jaksa, polisi dan aparat negara bisa meminta uang dan menerima tanpa perlu marasa bersalah.  Tidak ada lagi batasan. Tidak ada lagi nilai. Tidak ada lagi kontrol. Bahkan, tidak ada lagi moralitas. Mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang halal dan mana yang haram. Bahkan, kekerasan membiasa dan muncul dari pagi sampai malam, di depan mata kita melalui media surat kabar, televisi mau pun internet. Semuanya terbuka, telanjang hadir di depan mata kita, anak-anak kita, dan keluarga kita. film, musik, lagu, majalah, dan buku-buku terbitan tanpa sensor apa pun juga. Tayangan di televisi-televisi kita, yang bernada satu dan terus berulang saja bisa menyebabkan dekadensi moral.  Etika apalagi, moralitas dan bahkan nurani sudah tak berarti apa-apa. Nihil. Yang penting adalah UANG. Kekuasaan dan kehormatan dapat dibeli dengan UANG. Untuk memeroleh jabatan bahkan untuk menjadi Kepala Desa, Camat, Bupati, Gubernur. Bahkan, Presiden sekalipun, diperlukan UANG, sisanya tidak peduli. Kalau sudah begini mungkin UANG akan memelancar segala macam bentuk kamaksiatan dan kejahatan di negara ini.

Belajar dari Pengalaman 
Lengkap sudah penderitaan bangsa ini. Mulai dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, kehancuran sistem politik, moralitas, dan ditambah dengan bencana alam, seperti tsunami, tanah longsong, banjir, dan berita masalah peredaran formalin, flu burung dan sebagainya. Selain itu, Indonesia tidak hanya menyandang predikat sebagai negara koruptor harta terbesar di dunia, tatapi juga negara koruptor, sejarah paling sadis di muka bumi ini.

Di samping itu, “Apakah Kemerdekaan Indonesia yang di Proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, apakah itu suatu kemerdekaan?” Tidak !!!, melainkan kemerdekaan semu saja. Memang kalau dilihat dari segi fisik bangsa Indenesia telah merdeka, tetapi kalau di lihat dari segi moralitas, akhlak, akidah masih terjajah. Tak heran kalau kita melihat tingkah laku Wakil rakyat di negeri hanya mementingkan dirinya sendiri.
Politik umat merdeka bukan politik yang diperbudak oleh bangsa-bangsa yang tidak mengenal aturan Iman dan Tauhid. Kehidupan ekonomi merdeka tidak boleh didominasi model perekonomian yang tidak berpihak kepada nilai-nilai religius. Hidup bersosial bangsa kita jangan sampai dibimbing oleh konsep sosial ‘model setan’. Peradaban bangsa yang merdeka tidak pernah ‘membebek’ kepada peradaban lain yang meskipun modern tapi jahiliyah. Sudah saatnya kita mengubah cara dan gaya hidup foya-foya dan penampilan hedonis yang tak pernah dikenal oleh para pahlawan bangsa dan negara saat mereka megobarkan semangat “jihad” dan mengumandangkan “Allahu Akbar!” 

Perenungan ulang terhadap proses ulang terhadap proses perjalanan dan pembangunan bangsa selama ini akan membuat kita lebih arif memahami kegagalan dan keberhasilan, kita akan bersedia melakukan koreksi diri untuk kebaikan bersama. Selain itu, salah satu agenda pembenahan yang penting adalah para pemimpin. Sebab, di tangan merekalah segala kebijakan yang dihasilkan dan akibatnya pasti pada rakyat. Merekalah pemegang kekuasaan yang akan menghitam putihkan bangsa ini.■ ( Zaldy Munir )

"TERSENYUMLAH WAHAI DIRI"

Kesedihan itu takkan abadi...
Roda kehidupan selalu berputar...
Ada kalanya bahagia terasa...
Ada kalanya sedih merintih dan juga air mata...
Tapi tahukah kalian?

Ada Dia yang selalu menatapmu lembut...
Dia tahu yang terbaik untukmu...
Dia memberi apa yang engkau butuhkan...
Bukan selalu menuruti apa yang engkau inginkan...

Semua yang terjadi juga karena kehendak-Nya...
Semua yang berjalan sesuai rencana-Nya...

Jadi untuk apa engkau resah atas sesuatu yang belum pasti?
Bukankah janji-Nya itu pasti?
DIia-ah Allah yang Maha Mengetahui...
Dia yang maha memberi...
Dia akan memberikan kepadamu segala apa yang engkau mohonkan kepada-Nya...

Ketahuilah...Jika engkau menghitung nikmat Allah...
Niscaya engkau tak akan pernah mampu menghitungnya...
Maka Bersyukurlah...

Hidup terus berjalan meski kadang kenyataan tak seperti yang diinginkan...
Yang dicintai kadang pergi...
Yang didambakan kadang menghilang...
Maka dekatkanlah dirimu dengan-Nya...
Niscaya Dia akan mengerti perasaanmu...

Ini sebagian ujian dari-Nya...
Dia takkan menguji hamba-Nya melebihi kemampuannya...

Bukankah manusia itu memang sedang diuji 
untuk mengetahui sejauh mana yang paling bertaqwa kepada-Nya?
Maka tetaplah Istiqamah!

Masih banyak di luar sana saudara-saudara kita yang jauh lebih sakit dan menderita...
Selalu ada hikmah di balik kejadian...
Selalu ada kemudahan setelah kesulitan...
Semua pasti indah pada waktunya...
Itu adalah janji-Nya...

Maka tersenyumlah wahai diri... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar